Selasa, 06 Mei 2008

Mi, Nantikan Abi di Taman Surga


Semerbak wangi bunga melati memenuhi kamar berukuran 4x3m. Saat ini aku sedang duduk termenung sendirian. Asyik memandangi bulan yang tengah bertengger manja di luasnya cakrawala. Cuaca tengah cerah malam ini. Bintang-bintang turut bergaya menarik simpati sang rembulan. Berlomba-lomba memamerkan keindahan cahayanya. Ah...aku begitu romantis hari ini, kata batinku sambil tersenyum.


” Assalamu’alaikum!” Suara dari luar mengejutkanku, disusul beberapa kali ketukan pintu. Aku segera beranjak dari tempat dudukku seraya menjawab salamnya.


” Wa’alamualaikum!” saat kubuka pintu, seorang gadis tengah berdiri di hadapanku dengan wajah tertunduk. Wajahnya yang menggemaskan memerah tersenyum menahan malu.


” Masuklah,” ajakku sambil membuka pintu lebih lebar setelah sesaaat terpaku menatapnya. Gadis yang belum genap 21 tahun tadi pagi resmi menjadi istriku, kelihatan mulai gelisah. Ada bintik-bintik keringat di ujung hidung dan dahinya yang tak tertutup jilbab. Kuhela nafas dalam-dalam. Ada keraguan menyeruak dalam hatiku. Sanggupkah ia mengemban tugas-tugas sebagai seorang istri? Bisakah dia mewujudkan baiti jannatii dalam rumah tangganya? Atau mampukah dia manjadi madrasah untuk jundi-jundi kami kelak?


Ah...desakan pertanyaan demi pertanyaan menyesakkan dadaku. Wajahnya yang begitu polos, kecantikannya anugerah Ilahi. Keraguannya yang sempat kubaca saaat tadi sebelum dia masuk. Kekikukannya saat ini seakan mendakwa bahwa aku harus sabar dalam mendidiknya menjadi istri yang shalihah.


Kusadari benar usia kami yang terpaut hampir 10 tahun menciptakan perbedaaan yang mencolok. Tapi kenapa aku terpikat bidadari kecil yang kukenal lewat proses nadhor beberapa bulan lalu. Setelah mendapat petunjuk dari Allah, tanpa pikir panjang akupun menyuntingnya.


Masih terngiang di telingaku saat kutanya mahar yang ia inginkan, dengan suara lembut yang bening ia menjawab: Subhanallah, apapun yang mas berikan dengan hati ikhlas, insyaAllah akan adik terima dengan hati ikhlas pula. Jawaban indah itulah yang ia hadiahkan. Kekagumanku bertambah saat ia berkata lagi: Maaf, idealnya mahar itu memenuhi sunnah, namun adik tidak ingin memberatkan, mas. Yah...kalimat yang tulus menggambarkan jiwa qona’ahnya.


MasyaAllah, sudah berapa jenak aku membiarkan bidadari kaku berdiri di depanku, ketika sadar ia sudah duduk dihadapanku. Aku membelainya dan berdo’a: Ya Allah, aku memohon padaMu dari kebaikannya dan dari kebaikan apa yang Engkau tetapkan padanya, dan aku berlindung dari kejahatan dan kejahatan yang Engkau tetapkan padanya.


Dia masih menundukkan kepalanya, seakan tak ingin memperlihatkan kecantikannya padaku. Perlahan kuangkat wajahnya hingga jelaslah terlihat wajahnya. Kecantikan yang benar-benar sempurna, rembulan pun merasa malu dan merasa tersaingi hingga menyelinap di balik tebalnya awan. Aku tak sanggup berkata apa-apa. Anugerah Ilahi teramat besar untukku. Aku yang merasa tak memiliki kelebihan apapun ditakdirkan oleh Allah menikah dengan Hanif. Khumaira yang tulus kupetik dengan doa dan airmata.


” Sebelum kita melangkah bersama, mengarungi bahtera rumah tangga berdua, berilah adik peta yang akan menjadi pedoman bagi adik dalam berkhitmat kepada Mas Aziz. Katakan apa yang mas sukai dan apa yang tidak mas sukai. InsyaAllah apa yang mas sukai akan adik tunaikan dan apa yang mas tidak sukai adik akan tepiskan. ”


Subhanallah, begini indahnya pernikahan? Aku menatap Hanif penuh haru. Tak kusangka dari getar bibirnya mengalir kalimat sebijak itu. Ingatanku melayang pada kisah pernikahan Syuraih Al Qadhi dan Zainab binti Hadiir. Kalimat yang dulu mengharubirukan hati Syuraih kini tengah menggetarkan hatiku. Keraguan yang tadi sempat singgah di benakku kini sirna, bahkan berganti keyakinan bahwa Hanif akan menjadi istri yang shalihah. Kurengkuh Hanif dengan penuh bahagia.


Waktu terus berlalu. Hanif benar-benar telah membuktikan sebagai istri yang shalihah, istri terbaik dalam penilaianku. Tutur katanya yang begitu lembut dan santun, akhlaknya yang karimah, qana’ah memandang dunia dan senyumnya yang senantiasa berkembang saat berhadapan denganku. Dalam kebahagiaan seperti ini, setahun pun terlewati tanpa terasa.


Rahim Hanif mulai mengembang oleh calon jundi kami. Kuperhatikan ia begitu sering mengelusnya seraya membisikkan dzikir-dzikir dan do’a-do’a. Mengajari tentang kebesaran Allah sehingga seakan kebahagiaan ini terasa begitu lengkap.


” Adik Hanif, masih ingatkah adik dengan janji kita di malam pertama dulu?” Aku mengajaknya musyawarah tentang rencana keberangkatanku ke negeri anak benua untuk memperdalam dakwah di sana. Dia mengangguk mantap. Kemudian mengulang azzam yag diucapkan setahun yang lalu.


” Istri adalah pendorong bagi suami untuk khuruj fi sabilillah, istri adalah teman bagi suami dalam berbakti kepada kedua orang tuanya, penunjuk jalan ketika suami silap dan teman yang setia bagi suami dalam segala keadaan,” katanya.


” Tidakkah adik keberatan atas kepergiaan mas yang lama?” tanyaku.


” Bagimana mungkin adik keberatan sedangkan Allah lebih berhak atas diri mas. Dialah penyuruh yang sesungguhnya.” Senyumnya yang penuh kearifan berkembang. ” Itu adalah do’a adik tiap malam agar Allah memilih mas untuk pergi kesana.”


” Mas akan pergi empat bulan, hanya saja pilihan mas bukan ke negeri anak benua, melainkan ke negeri jiran, Malaysia, ” kataku. Selesai aku mengatakan itu kulihat kabut dimatanya.


” Tidak, mas. Mas harus pergi ke negeri anak benua,” ucapnya memberi semangat.


” Tapi, adik kan paham bahwa biaya ke sana mahal. Apalagi adik sudah mendekati saat-saat melahirkan,” jelasku. Dia tetap menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. Ia beranjak dari tempat duduknya. Beberapa saat kemudian ia duduk di hadapanku dan mengangsurkan buku tabungannya. Aku menatapnya dengan kebingungan.


” Ini hasil dari adik menulis. Adik ikhlas kalau mas memakainya untuk kepentingan agama.” Ah...ingin rasanya aku menangis mendengar ucapannya itu karena haru. Teringat olehku Khadijah istri Rasulullah yang rela mengorbankan semua kekayaannya untuk dakwah Rasulullah.


” Ini kan hasil adik sendiri, pakailah untuk keperluan adik,” kataku seakan tak rela atas perlakuannya sambil mengembalikan buku tabungan itu. Dia menatapku dengan penuh permohonan. Sebentar kemudian air matanya meluncur deras membasahi pipinya.


” Tidak bolehkan seorang istri membantu dakwah suaminya? Mengapa Khadijah mengorbankan seluruh hartanya untuk Rasulullah, sedangkan mas menolak bantuan adik yang tidak berharga ini?” Isaknya meluluhkan kalbuku, aku terenyuh. Akhirnya kuterima kembali buku itu dan mengucapkan jazzakumullah kepadanya.


” Adik benar-benar siap berjuang sendirian?” tanyaku sesaat sebelum berangkat ke bandara.


” 70.000 malaikat yang melindungi keluarga yang ditinggal fi sabilillah, dan lagi penjagaan Allah lebih ketat daripada banser atau satgas sekalipun.” Ah...ia masih bisa bercanda saat menjelang perpisahan.


” Saat adik merasa berat, ingat perjuangan Siti Hajar yang ditinggal Nabi Ibrahim di padang pasir tandus dengan Ismail yang di gendongnya,” kataku sembari memberi pesan. ” InsyaAllah, segala sesuatu yang berjalan untuk agama Allah tidak akan pernah terasa berat. kecintaanNya kepada kita akan melebur segala kesusahan,” batinku menggeraikan do’a. Akupun berpamitan dengan bakal bayi itu.


” Abi berangkat, sayang. Jangan bikin susah umi. Jaga dan temani umi, ya,” pamitku kepada bakal jundiku. Kulihat Hanif lebih tegar menghadapi perpisahan ini. Senyumnya terurai, senyum yang selalu membuat hatiku bergetar. Kulangkahkan kaki keluar, kupastikan aku tengah membela agama Allah. Tak lagi sanggup kumenoleh ke belakang.


Empat bulan terlewati sudah, kepulangan yang tertunda dua pekan membuatku gelisah. Ini adalah detik-detik Hanif melahirkan. Ingin rasanya aku mendampinginya saat kelahiran. Begitu sampai di bandara, Ilham adik iparku memberi tahu bahwa Hanif sedang di rumah sakit. Tanpa banyak tanya kuseret tangan Ilham menuju pangkalan taksi.


” Mbak Hanif pendarahan, mas. Kemarin Ibu menemukannya pingsan di kamar mandi,” jelas Ilham sesaat setelah duduk didalam taksi, membuatku kian gelisah. Aku berharap taksi ini bisa terbang untuk segera sampai di rumah sakit.


Kulihat semua keluarga telah bekumpul. Belum selesai aku menyalami semuanya, seorang suster memanggilku, ” Istri Anda?” tanyanya, ” ingin bertemu?”


Bergegas aku mengikuti langkah suster itu ke ruang ICU. Aku melangkah menuju Hanif yang tengah berbaring dengan dada berdentuman. Ah, kulihat ia terbaring tanpa daya. Bibirnya membiru, wajahnya nampak pias, keringatnya mengucur dari seluruh tubuhnya. Subhanallah, ia masih tersenyum saat melihatku. Senyuman yang berbaur rintihan tersembunyi.


” Lailahaillallah...Lailahaillallah...Lailahaillallah...” berulangkali ia gumamkan kalimat itu.


” Bagimana dakwahnya, bi?” tanyanya. Di tengah derita yang begitu hebat, pikir agama tetap begitu tinggi. Ingin rasanya aku sujud syukur di lantai ruang ICU, demikian suci kasih bidadariku, begitu sempurna Allah melukis cintanya.


” Alhamdulillah banyak ilmu yang mas dapat. Nanti bisa kita mudzakarahkan bersama,” jawabku.


” Sekarang panggil adik dengan umi,” sarannya. Aku melirik perut Hanif yang telah mengempes pertanda jundi kami telah lahir.


” Anak kita telah lahir?” tanyaku penasaran. Hanif hanya menganggguk lemah.


” Ismail, dia akan fastabiqul khairat dengan abinya di medan dakwah dan mujahadah.” Aku segera jatuh dalam sujud syukur di lantai ICU seketika itu juga.


Kemudian kulihat Hanif lagi sambil memegang tangannya yang lemah. ” Bi, umi sedikit letih, izinkan umi sejenak istirah,” Ah...tiba-tiba bayang-bayang asing menjenguk dari balik langit-langit putih, mengirim kabar dari negeri yang tak pernah terlintas dalam krenteg batin.


”Rehatlah, sayang, keletihanmu diganti oleh Allah limpahan pahala,” ucapku lirih di telinganya.


” Penghuni sorga melambaikan tangannya untuk memanggilku.” mendengar kata-katanya itu aku tersentak, tak terasa kugenggam erat tangannya. ”Ya, Allah, jangan ambil dia, dialah pelipur hatiku, penyejuk hatiku, dia pendorongku untuk keluar di jalanMu, jangan ambil dia,” jeritku dalam hati.


”Telah ridhokah abi dengan umi?” Hanif masih bertanya. Tak kuasa kutahan air mata. Tangan Hanif yang dingin menghapus butiran-butiran air mata yang perlahan jatuh di sudut-sudut mataku.

” Tidak pernah abi merasa kecewa dengan umi? Ridhokanlah, bi. Sesungguhnya umi tidak hendak meninggalkan abi. Tidak pula umi hendak pergi. Umi sekedar ingin segera menghias taman sorga, tempat umi menanti abi dan juriat tercinta...”


” Abi...abi...abi ridho dengan kepergian umi,” jawabku tersendat-sendat.


“ Bi, ucapkanlah, nantikan abi …di taman sorga…”


“ Mi, nantikan abi di taman sorga...” tak sadar bibirku bergetar menirukan kalimat terakhir Hanif yang ridho menjemput takdir.


Senyumnya berkembang, namun tak sanggup aku menatap senyum yang selalu menjadi penyejuk hatiku itu. Aku mencium punggung jemari Hanif, lirih kutalqinkan kalimat thayyibah. Kulihat bibirnmya turut bergerak meski tak bersuara. Beberapa detik kemudian semuanya berhenti, tangannya terkulai di genggamanku. Kepergian yang indah. Kepergian bidadariku sebagai syahidah. Kepergian yang hakikatnya mempercepat pertemuan yang abadan-abadan.


“ Ya, Allah, aku ikhlas dengan keputusanMu. Gantilah ketaatannya kepadaku selama ini dengan kebahagiaan di sisiMu, ” Do’aku di depan Hanif yang telah pergi. Aku melangkah keluar, semua mata seakan bertanya bagaimana dengan Hanif.


” Jangan ada yang menangisi kepergiannya,” pintaku lirih. Kulihat keluargaku beriringan memasuki kamar rawat Hanif. Sementara aku melihat seorang suster membawa bayi ke kamar Hanif ” Dia telah tiada!” Cegahku sebelum suster itu sampai di depan pintu. Kuambil Ismailku dari tangan suster itu. Ah...dia seperti Hanif. Tersenyum seakan menghiburku agar tak bersedih. Selamat jalan bidadariku, perjuangan agama ini akan kuteruskan bersama da’i yang telah kau lahirkan ke dunia ini, da’i yang menjadi bukti syahidmu yang demikian indah.

(Oleh I. Dwi K., Majalah Al-Madinah, edisi 9)

1 komentar:

iqa_lala~ mengatakan...

Astaghfirullahhalazim..saya suka bangat dengan ceritanya..semoga sukses ya..insya-Allah..