Rabu, 07 Mei 2008

Al-Khansa' (Ibu Para Syuhada')


Nama beliau adalah Tamadhar binti Amru bin al-Haris bin asy-Syarid, seorang wanita penyair yang tersohor. Beberapa syair terlantun dari lisan beliau di saat kematian saudaranya Shakhr di masa jahiliyah, maka beliau meratap dengan ratapan yang menyedihkan, yang akhirnya syair tersebut menjadi syair yang paling terkenal dalam hal syair duka cita. Di antara syair yang bagus yang beliau ciptakan adalah sebagai berrikut.

Menangislah dengan kedua matamu atau sebelah mata
Apakah aku akan kesepian karena tiada lagi penghuni di dalam rumah

Dan di antara syair beliau yang bagus adalah:
Kedua mataku menangis dan tiada akan membeku
Bagaimana mata tidak menangis untuk Shakhr yang mulia
Bagaimana mata tidak menangis untuk sang pemberani
Bagaimana mata tidak menangis untuk seorang pemuda yang luhur

Beliau mendatangi Rasulullah saw bersama kaumnya dari Bani Salim, kemudian mengumumkan ke-Islamannya dan menganut akidah tauhid, amat baik keislaman beliau sehingga menjadi lambang yang cemerlang dalam keberanian, kebesaran jiwa dan merupakan perlambang kemuliaan bagi sosok wanita muslimah.

Rasulullah saw pernah meminta kepadanya untuk bersyair, maka beliau bersyair, Rasulullah saw menyahut, "Wahai Khansa' dan hari-hariku di tangan-Nya."

Ketika Adi bin Hatim datang kepada Rasulullah saw, dia berkata kepada Nabi, "Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya di tengah-tengah kami ada orang yang paling ahli dalam syair, ada juga orang yang paling dermawan di antara manusia dan orang yang paling ahli dalam menunggang kuda." Kemudian Nabi saw bersabda, "Siapakah nama mereka?" Adi bin Hatim berkata, "Adapun orang yang paling ahli bersyair adalah al-Qais bin Hajar, sedangkan yang paling dermawan adalah Hatim bin Sa'ad (yakni bapaknya Adi), adapun yang paling ahli dalam berkuda adalah Amru bin Ma'di Karib." Rasulullah saw bersabda, "Tidak benar apa yang kamu katakan wahai Adi, adapun orang yang paling ahli dalam syair adalah Khansa' binti Amru, adapun orang yang paling dermawan adalah Muhammad (yakni Muhammad saw), sedangkan orang yang paling ahli berkuda adalah Ali bin Abu Thalib."

Di samping kelebihan tersebut -hingga karena keistimewaannya dikatakan, 'Telah dikumpulkan para penyair dan ternyata tidak didapatkan seorang wanita yang lebih ahli tentang syair daripada beliau- , beliau juga memiliki kedudukan dan prestasi jihad yang mengagumkan dalam berpartisipasi bagi Islam dan membela kebenaran. Beliau turut menyertai peperangan-peperangan bersama kaum muslimin dan menyertai pasukan mereka yang memperoleh kemenangan.

Ketika Mutsanna bin Haritsah asy-Syaibani berangkat ke Qadisiyah di masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra, Khansa' berangkat bersama keempat putranya untuk menyertai pasukan tersebut.

Di medan peperangan, di saat malam ketika para pasukan sedang siap berperang satu sama lain, Khansa' mengumpulkan keempat putranya untuk memberikan pengarahan kepada mereka dan mengobarkan semangat kepada mereka untuk berperang dan agar mereka tidak lari dari peperangan serta agar mereka mengharapkan syahid di jalan Allah SWT. Maka, dengarkanlah wasiat al-Khansa' yang mulia tersebut:

"Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian telah masuk Islam dengan ketaatan, kalian telah berhijrah dengan sukarela dan Demi Allah, tiada ilah selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra-putra dari seorang wanita yang tidak pernah berkhianat kepada ayah kalian, kalian juga tidak pernah memerlukan paman kalian, tidak pernah merusak kehormatan kalian dan tidak pula berubah nasab kalian. Kalian mengetahui apa yang telah Allah janjikan bagi kaum muslimin berupa pahala yang agung bagi yang memerangi orang-orang kafir, dan ketahuilah bahwa negeri yang kekal lebih baik dari negeri yang fana (binasa). Allah Azza wa Jalla befirman, "Wahai orang-orang yang berfirman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung." (Ali Imran: 20).

Maka, ketika datang waktu esok, jika Allah menghendaki kalian masih selamat, persiapkanlah diri kalian untuk memerangi musuh dengan penuh semangat dan mohonlah kepada Allah untuk kemenangan kaum muslimin. Jika kalian melihat perang telah berkecamuk, ketika api telah berkobar, maka terjunlah kalian di medan laga, bersabarlah kalian menghadapi panasnya perjuangan, niscaya kalian akan berjaya dengan ghanimah (rampasan perang) dan kemuliaan atau syahid di negeri yang kekal.

Sementara itu keempat putranya mendengarkan wejangan tersebut dengan penuh seksama, mereka keluar dari kamar ibu mereka dengan menerima nasihatnya dan tekad hatinya untuk melaksanakan nasihat tersebut. Maka, ketika datang waktu pagi, mereka segera bergabung bersama pasukan dan bertolak untuk menghadapi musuh, sedangkan mereka berangkat seraya melantunkan syair. Yang paling besar bersenandung:

Wahai saudaraku, sesungguhnya ibunda sang penasehat
Telah berwasiat kepada kita kemarin malam
Dengan penjelasan yang tenang dan gamblang
Maka bersegeralah menuju medan tempur yang penuh bahaya
Yang kalian hadapi hanyalah
kawanan anjing yang sedang menggonggong
Sedang mereka yakin bahwa dirinya akan binasa oleh kalian
Adapun kalian telah dinanti oleh kehidupan yang lebih baik
Ataukah syahid untuk mendapatkan ghanimah yang menguntungkan

Kemudian dia maju untuk berperang hingga terbunuh. Lalu yang kedua bersenandung:
Sesungguhnya ibunda yang tegas dan lugas
Yang memiliki wawasan yang luas dan pikiran yang lurus
Suatu nasihat darinya sebagai tanda berbuat baik terhadap anak
Maka bersegeralah terjun di medan perang dengan jantan
Hingga mendapatkan kemenangan penyejuk hati
Ataukah syahid sebagai kemuliaan abadi
Di Jannah Firdaus dan hidup penuh bahagia

Kemudian dia maju dan berperang hingga menemui syahid. Lalu giliran putra al-Khansa' yang ketiga bersenandung:

Demi Allah, aku tak akan mendurhakai ibuku walau satu huruf pun
Beliau telah perintahkan aku untuk berperang
Sebuah nasihat, perlakuan baik, tulus dan penuh kasih sayang
Maka, bersegeralah terjun ke medan perang yang dahsyat
Hingga kalian dapatkan keluarga Kisra (kaisar) dalam kekalahan
Jika tidak, maka mereka akan membobol perlindungan kalian
Kami melihat bahwa kemalasan kalian adalah suatu kelemahan
Adapun yang terbunuh di antara kalian adalah kemenangan dan pendekatan diri kepada-Nya

Kemudian, dia maju dan bertempur hingga mendapatkan syahid. Lalu giliran putra al-Khansa' yang terakhir bersenandung:

Bukanlah aku putra al-Khansa, bukan pula milik al-akhram
Bukan pula Amru yang memiliki keagungan
Jika aku tidak bergabung dengan pasukan yang memerangi Persia
Maju dalam kancah yang menakutkan
Hingga berjaya di dunia dan mendapat ghanimah
Ataukah mati di jalan yang paling mulia

Kemudian, dia maju untuk bertempur hingga beliau terbunuh.

Ketika berita syahidnya empat bersaudara itu sampai kepada ibunya yang mukminah dan sabar, beliau tidaklah menjadi goncang ataupun meratap, bahkan beliau mengatakan suatu perkataan yang masyhur yang dicatat oleh sejarah dan akan senantiasa diulang-ulang oleh sejarah sampai waktu yang dikehendaki Allah, yakni:

"Segala puji bagi Allah yang memuliakan diriku dengan syahidnya mereka, dan aku berharap kepada Rabb-ku agar Dia mengumpulkan diriku dengan mereka dalam rahmat-Nya".

Adalah Umar bin Khaththab mengetahui betul tentang keutamaan al-Khansa' dan putra-putranya sehingga beliau senantiasa memberikan bantuan yang merupakan jatah keempat anaknya kepada beliau hingga beliau wafat.

Kemudian, wafatlah al-Khansa' di Badiyah pada awal kekhalifahan Utsman bin Affan ra pada tahun 24 Hijriyah.
Semoga Allah merahmati al-Khansa' yang benar-benar beliau sebagai seorang ibu yang tidak sebagaimana layaknya ibu yang lain, kalau saja para ummahatul Islam setelahnya semisal beliau, niscaya tiada hilang mereka yang telah hilang, tak akan dapat tidur mata orang yang sedang gelisah.

Sumber: Nisaa' Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Mushtafa Abu Nashr asy-Syalabi

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Selasa, 06 Mei 2008

Sakinah Mawaddah dan Rahmah


Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyari’atkan.


Pernikahan artinya rumah yang tiangnya adalah Adam dan Hawwa, dan dari keduanya terbentuk keluarga-keluarga dan keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas, lalu muncul berbagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah.” (al-Furqan:54).


Mushaharah yaitu hubungan kekeluargaan yang disebabkan oleh ikatan perkawinan, seperti menantu, mertua, ipar, dan sebagainya. Pernikahan adalah benteng yang dapat menekan kejalangan nafsu seksual seseorang, mendorong keinginan syahwatnya, menjaga kemaluan dan kehormatannya serta menghalanginya dari keterjerumusan ke dalam lubang-lubang maksiat dan sarang-sarang perbuatan keji.


Kita melihat bagaimana al-Qur’an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami-istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.
Sesungguhnya wanita adalah ran ting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ran ting selalu membutuhkan akar.” Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (al-A’raf:189).


Yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam dan yang dimaksud istrinya adalah Hawwa. Karena itu, pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar menjaga keutuhan jenis manusia saja, tetapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam firman-Nya, artinya,
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”(an-Nisa`:3)


Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.


Di antara keagungan al-Qur’an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur’an, yaitu:
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah:187)


Makna Sakinah, Mawaddah dan Rahmah


Al-Qur’an telah menggambarkan hubungan insting dan perasaan di antara kedua pasangan suami-istri sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat yang tidak terhingga dari-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum:21)


Kecenderungan dan rasa tentram suami kepada istri dan kelengketan istri dengan suaminya merupakan hal yang bersifat fitrah dan sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat tempat suami bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap nasi, dan mencari penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan, pada putaran akhirnya, semua keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada sang istri yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria dan senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.


Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata “Ketentraman (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketentraman dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria, di antara yang terpenting; Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu menjaga keluarga dan hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal bersamanya.


Terkait dengan surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:


Renungan Pertama. Abu al-Hasan al-Mawardy berkata mengenai makna, “Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (ar-Rum:21). Di dalam ayat ini terdapat empat pendapat:

Pertama, bahwa arti Mawaddah (rasa kasih) adalah al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti Rahmah (rasa sayang) adalah asy-Syafaqah (rasa kasihan).
Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ’ (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-Walad (anak).

Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang besar (yang lebih tua) dan Rahmah adalah welas asih terhadap anak kecil (yang lebih muda).
Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa al-’Uyûn)

Ibn Katsir berkata, “Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih (mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya hingga mendapat kan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain sebagainya” (Tafsir Ibn Katsir)


Renungan ke Dua. Mari kita renungi sejenak firman-Nya, “dari jenismu sendiri.” Istri adalah manusia yang mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, sedangkan laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca: al-Baqarah:228).

Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikannya. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.


Renungan ke Tiga. Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu ‘lembaga’ yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-hak dan arah kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”

Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat an-Nisâ`, ayat 34.Renungan ke Empat. Masing-masing pasangan suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.


Renungan ke Lima. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah subhanahu wata’ala di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlaku kanya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu wata’ala, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita shalihah.”


Renungan ke Enam. Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini dapat terlihat dari ucapan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang begitu cemburu terhadap Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri pertama beliau padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena beliau sering mengingat kebaikan dan jasanya.


Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan rumah tangga kaum Muslimin rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga beliau.


Sumber: Tsulâtsiyyah al-Hayâh az-Zawjiyyah: as-Sakan, al-Mawaddah, ar-Rahmah karya Dr.Zaid bin Muhammad ar-Rummany. (oleh : Abu Hafshah)

Di Balik Gemerlap Pasar

Di Balik Gemerlap Pasar



Bagaimana sikap kita terhadap pasar? Apakah sangat gandrung dan mencintainya? Apakah merasa sangat kerasan dan senang ketika berada di dalamnya? Apakah kita termasuk orang yang sering dan gemar masuk, serta jalan-jalan di sana?

Sebelum menjawab itu semua, seorang muslim dan muslimah harus tahu bahwa dirinya tidak mencintai atau membenci sesuatu karena hawa nafsunya. Akan tetapi mencintai dan membenci sesuatu karena Allah subhanahu wata’ala. Mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Seorang muslim juga harus mencintai apa saja yang dapat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dan membenci apa saja yang dapat menjauhkan dari-Nya.



Ada Apa dengan Pasar?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya, “Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjid dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasar.” Berdasarkan hadits ini, seorang muslim dan muslimah hendaknya membenci pasar, tidak merasa senang untuk terus berada di dalamnya, tidak merasa betah dan kerasan ketika berada di dalamnya dan tidak mendatanginya kecuali karena ada keperluan dan hajat yang mengharus kan untuk ke sana, apalagi pasar-pasar modern yang ada saat ini.

Mengapa? Karena pasar adalah tempat yeng melalaikan, tempat tabarruj, tempat pamer aurat, ikhtilath (campur baur pria wanita), tempat kegaduhan dan obrolan tak karuan. Allah subhanahu wata’ala membenci pasar, maka seorang mukmin juga membencinya, dia membenci apa yang dibenci Rabbnya.

Lalu, mengapa pasar dicap sebagai tempat terburuk di muka bumi? Imam Nawawi berkata, tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasar” karena pasar adalah tempat penipuan, kebohongan, riba, sumpah palsu, ingkar janji dan berpaling dari dzikrullah dan lain sebagainya.

Berapa banyak orang ditipu di pasar? Berapa banyak orang yang kecurian dan kecopetan di pasar? Berapa banyak orang dibohongi? Berapa banyak sumpah palsu terucap? Perdagangan haram dipraktekkan, janji diingkari, kezhaliman dan sikap melampaui batas? Berapa banyak pandangan khianat dan haram terjadi, obrolan tak karuan dilakukan, dan berapa banyak pula janji dan kencan penuh dosa dilakukan di sana?

Salman al-Farisi berkata, “Jika engkau bisa, jangan sekali-kali menjadi orang yang pertama kali masuk pasar dan paling akhir keluar darinya. Karena di situlah medan pertempuran dengan setan, dan di sana setan menancapkan benderanya.” (atsar riwayat Muslim)

Di dalam pasar, banyak manusia lalai dari dzikrullah dan bersyukur kepada-Nya, karena hati disibukkan oleh segala yang terlihat oleh dua mata. Di sebelah sana ada barang dagangan jenis ini, warna ini, diimpor dari negri ini. Yang itu dari Perancis, yang ini dari Amerika, yang di sebelah sana dari Itali dan Jepang. Jika mata tertuju ke suatu tempat, maka akan mendapati berbagai asesoris dan perhiasan yang membuat mata tak berkedip, sementara di sudut yang lain ada etalase yang sangat mewah bukan kepalang.

Lalu, ini banting harga, itu diskon besar-besaran, di sebelah sana ada yang bersumpah menjual dengan rugi. Ada lagi yang cuci gudang, menawarkan dagangan dengan poster mencolok, memberikan hadiah kepada anak-anak, merayu para wanita pembeli, memberi hadiah kepada setiap pembeli, dan ada juga yang mengadakan kuis atau lomba dengan berbagai macam hadiah menarik. Untuk berkeliling dari satu stand ke stand lain, dari tempat satu ke tempat yang lain sudah menghabiskan waktu berjam-jam, dan menyia nyiakannya dengan tanpa guna. Bukan hanya itu saja, bahkan ada yang lebih dari itu, lebih buruk dari itu, yakni berapa banyak kemaksiatan tersebar dan berkeliaran di pasar-pasar.

Wanita dengan aroma parfum yang menyengat dari badan dan pakaiannya, baunya menggugah selera hidung sebelum mata diundang untuk memandanganya. Lalu berpasang- pasang mata lelaki memandanginya dengan tanpa henti. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Wanita mana saja yang memakai parfum lalu keluar melewati sekelompok orang agar mereka mencium aromanya maka dia telah berzina, dan setiap mata juga berzina.” (HR Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan al-Albani).

Peringatan keras ini bagi wanita yang hanya sekedar memakai parfum lalu keluar melewati orang banyak. Maka bagaimana jika ditambah lagi keluarnya adalah ke pasar, supermarket, tempat terjadinya fitnah dan tempat yang dibenci Allah?

Banyak pula wanita di pasar yang mengenakan pakaian semaunya, dengan model yang ketat dan pendek, terbuka atau membentuk auratnya, memamer kan apa yang seharusnya ditutupi, lengan, leher, betis,dada, punggung dan seterusnya. Ada pula yang mengenakan sepatu tinggi (jinjit), berjalan melenggak-lenggok layaknya sedang merayu suaminya.

Ada lagi yang masuk pasar hanya sekedar bertanya harga ini dan harga itu. Ketika para pedagang dan semua orang sudah kemas-kemas untuk pulang , dan lampu mulai dimatikan dia pun keluar dari pasar tanpa membeli sesuatu apa pun.

Sementara itu di sebelah sana ada wanita yang sedang berduaan dengan seorang penjual laki-laki tanpa ada mahram dan orang lain. Mereka asyik mengobrol dengan begitu rinci tentang berbagai perlengkapan kosmetika dan bahkan tentang pakaian-pakaian pribadi si wanita dengan tanpa risih dan malu-malu.Tak ketinggalan pula para gadis dan wanita lainnya, tengok kanan dan tengok kiri, barangkali ada lelaki yang mau iseng menggoda dan mencandainya. Atau mungkin mau berseloroh dengan berbagai kalimat pujian, rayuan dan sanjungan.



Bagaimana Sikap Kita

Setelah memperhatikan uraian di atas, maka kita umat Islam, terutama para wanita muslimah hendaknya menjadi orang yang membenci pasar, karena ia merupakan tempat ikhtilat, tempat godaan syetan, dan menjadikan orang terpengaruh dan hanyut dengan apa yang disaksikan di sana. Jika seseorang terlalu sering melihat kemungkaran maka akan membuatnya terbiasa dengannya dan menganggap lumrah kemungkaran tersebut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, artinya,
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka hendaklah dia mengubah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka hendaknya mengingkari dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”

Mengingkari kemungkaran dengan hati adalah selemah-lemah iman. Jika pengingkaran dengan hati sudah tidak lagi dimiliki oleh seseorang, maka iman akan tertutup dan hati menjadi hitam gelap, maka jadilah dia orang yang tenggelam dalam syahwat dan syubhat.



Beberapa Ketentuan Masuk Pasar

Meskipun telah kita ketahui berbagai fitnah, kemungkaran dan bahaya di dalam pasar, namun kita khususnya para wanita muslimah terkadang perlu untuk membeli berbagai kebutuhan seperti makanan, minuman, pakaian dan kebutuhan rumah tangga yang memang harus dibeli di pasar. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang umatnya untuk masuk ke pasar. Di zaman Nabi pun, baik di masa jahiliyah atau setelah masa Islam terdapat banyak pasar. Yang penting bagi kita adalah jangan sampai menjadi orang yang gemar dan terpaut dengan pasar atau supermarket, merasa senang, betah, kerasan berada di dalam nya dan ingin terus berada di sana.

Berikut ini beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan oleh siapa saja yang akan pergi ke pasar, supermarket dan semisalnya.

*

Ada Kebutuhan yang Dibeli

Dalam arti, seseorang jangan masuk pasar tanpa ada tujuan untuk membeli apa-apa, karena hanya akan membuang-buang waktu. Maka tatkala kita masuk pasar haruslah ada kebutuhan nyata yang hendak dibeli.

*

Menentukan Sasaran

Yaitu ada kejelasan barang yang akan dibeli. Jangan sampai masuk pasar kemudian tidak tahu akan membeli apa, akhirnya hanya berkeliling dan dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan yang jelas.

*

Meminta Izin, bagi Wanita.

Seorang wanita, ketika akan pergi ke pasar hendaknya minta izin kepada walinya. Para wanita mukmin di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan salafus shalih meminta izin ketika akan pergi ke masjid, maka bagaimana lagi jika akan pergi ke pasar? Juga jangan pergi sendirian, agar tidak menjadi sasaran kejahilan dan kejahatan orang tak bertanggungjawab.

*

Harus Menutup Aurat

Bagi wanita muslimah hendaknya dengan mengenakan hijab syar’i yang menutup seluruh auratnya. Harus diingat bahwa di pasar banyak lelaki yang hatinya berpenyakit dan hobi menggoda para wanita. Jika mereka mendapati wanita yang terbuka auratnya maka akan medekatinya dan mengajak berbincang. Berbeda halnya dengan wanita yang berhijab, tentu mereka akan lebih dihormati.

*

Berdoa ketika Masuk Pasar.

Dengan mengucapkan, “La ilaha illallah, wahdahu la syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, yuhyi wa yumit, wa huwa hayyun la yamut, biyadihil khair,wa huwa ‘ala kulli syai-in qadir.” Artinya: Tidak ada ilah kecuali Allah, Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya seluruh kekuasaan dan pujian, Yang menghidupkan dan mematikan, Dia Maha Hidup dan tidak mati, di tangan-Nya segala kebaikan, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

*

Menahan Pandangan

Sebagai bukti dari sikap hormat terhadap aturan dan hukum Allah subhanahu wata’ala, seperti tertera di dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 30-31 yang memerintahkan setiap mukmin dan mukminah untuk menjaga pandangan.

*

Bersikap Sopan

Yaitu berjalan dengan baik dan tenang, tidak banyak menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak memakai parfum bagi wanita, karena akan mengundang pandangan laki-laki lain. Bagi para wanita juga jangan banyak bertanya tentang sesuatu yang kurang perlu kepada pedagang laki-laki, namun bertanyalah sekedarnya.

*

Tidak Berkhalwat

Yaitu tidak berduaan antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada orang lain dan mahramnya, baik antara penjual dengan pembeli atau selainnya.

*

Jangan Tergiur Mode

Seorang muslim dan muslimah punya ciri tersendiri, maka jangan sampai terpikat oleh berbagai mode dan model pakaian apa pun yang tidak sejalan dengan aturan Islam yang mulia.

*

Hemat

Hemat dalam berbelanja merupa kan bukti seseorang menjaga nikmat yang diberikan Allah [subhanahu wata’ala dan bukti ia bersyukur. Sedangkan isyraf (boros) dan tabdzir (menghamburkan harta) merupakan cerminan sikap meremeh kan dan menyia-nyiakan nikmat Allah.

*

Memilih Waktu

Hal ini sebagai upaya menjauhi ikhtilat dan desak-desakan yang biasa terjadi di pasar-pasar.

*

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Minimal mengingkari kemungkar an dengan hati, sebagaimana telah disampaikan di dalam hadits di atas



Wallahu a’lam bish Shawab


Sumber: Kutaib Darul Wathan “Ila Murtadatil Aswaq,” al-Qism al-Ilmi Darul Wathan, dengan sedikit penyesuaian. (Dari buletin an-Nur)

Langkah Setan Menelanjangi Wanita

sun.jpgLangkah Setan Menelanjangi Wanita



Setan dalam menggoda manusia memiliki berbagai macam strategi, dan yang sering dipakai adalah dengan memanfaatkan hawa nafsu, yang memang memiliki kecenderungan mengajak kepada keburukan (ammaratun bis su’). Setan tahu persis kecenderungan nafsu kita, dia terus berusaha agar manusia keluar dari garis yang telah ditentukan Allah, termasuk melepaskan hijab atau pakaian musli-mah. Berikut ini tahapan-tahapannya.


I. Menghilangkan Definisi Hijab

Dalam tahap ini setan membisik-kan kepada para wanita, bahwa pakaian apapun termasuk hijab (penutup) itu tidak ada kaitannya dengan agama, ia hanya sekedar pakaian atau mode hiasan bagi para wanita. Jadi tidak ada pakaian syar’i, pakaian ya pakaian, apa pun bentuk dan namanya.

Sehingga akibatnya, ketika zaman telah berubah, atau kebudayaan manusia telah berganti, maka tidak ada masalah pakaian ikut ganti juga. Demikian pula ketika seseorang berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain, maka harus menyesuaikan diri dengan pakaian penduduknya, apapun yang mereka pakai.

Berbeda halnya jika seorang wanita berkeyakinan, bahwa hijab adalah pakaian syar’i (identitas keislaman), dan memakainya adalah ibadah bukan sekedar mode. Biarpun hidup kapan saja dan di mana saja, maka hijab syar’i tetap dipertahankan.
Apabila seorang wanita masih bertahan dengan prinsip hijabnya, maka setan beralih dengan strategi yang lebih halus. Caranya?

Pertama, Membuka Bagian Tangan

Telapak tangan mungkin sudah terbiasa terbuka, maka setan mem-bisik kan kepada para wanita agar ada sedikit peningkatan model yakni membuka bagian hasta (siku hingga telapak tangan). “Ah tidak apa-apa, kan masih pakai jilbab dan pakai baju panjang? Begitu bisikan setan. Dan benar sang wanita akhirnya memakai pakain model baru yang menampakkan tangannya, dan ternyata para lelaki yang melihat nya juga biasa-biasa saja. Maka setan berbisik,” Tuh tidak apa-apa kan?

Kedua, Membuka Leher dan Dada

Setelah menampakkan tangan menjadi kebiasaan, maka datanglah setan untuk membisikkan hal baru lagi. “Kini buka tangan sudah lumrah, maka perlu ada peningkatan model pakaian yang lebih maju lagi, yakni terbuka bagian atas dada kamu.” Tapi jangan sebut sebagai pakaian terbuka, hanya sekedar sedikit untuk mendapatkan hawa, agar tidak gerah. Cobalah! Orang pasti tidak akan peduli, sebab hanya bagian kecil saja yang terbuka.

Maka dipakailah pakaian model baru yang terbuka bagian leher dan dadanya dari yang model setengah lingkaran hingga yang model bentuk huruf “V” yang tentu menjadikan lebih terlihat lagi bagian sensitif lagi dari dadanya.

Ketiga, Berpakian Tapi Telanjang

Setan berbisik lagi, “Pakaian kok hanya gitu-gitu saja, cari model atau bahan lain yang lebih bagus! Tapi apa ya? Sang wanita bergumam. “Banyak model dan kain yang agak tipis, lalu bentuknya dibuat yang agak ketat biar lebih enak dipandang,” setan memberi ide baru.

Maka tergodalah si wanita, di carilah model pakaian yang ketat dan kain yang tipis bahkan transparan. “Nggak apa-apa kok, kan potongan pakaiannya masih panjang, hanya bahan dan modelnya saja yang agak berbeda, biar nampak lebih feminin,” begitu dia menambahkan. Walhasil pakaian tersebut akhirnya membudaya di kalangan wanita muslimah, makin hari makin bertambah ketat dan transparan, maka jadilah mereka wanita yang disebut oleh Nabi sebagai wanita kasiyat ‘ariyat (berpakaian tetapi telanjang).

Keempat, Agak di Buka Sedikit

Setelah para wanita muslimah mengenakan busana yang ketat, maka setan datang lagi. Dan sebagaimana biasanya dia menawarkan ide baru yang sepertinya segar dan enak, yakni dibisiki wanita itu, “Pakaian seperti ini membuat susah berjalan atau duduk, soalnya sempit, apa nggak sebaiknya di belah hingga lutut atau mendekati paha?” Dengan itu kamu akan lebih leluasa, lebih kelihatan lincah dan enerjik.”

Lalu dicobalah ide baru itu, dan memang benar dengan dibelah mulai bagian bawah hingga lutut atau mendekati paha ternyata membuat lebih enak dan leluasa, terutama ketika akan duduk atau naik ke jok mobil. “Yah tersingkap sedikit nggak apa-apa lah, yang penting enjoy,” katanya.

Inilah tahapan awal setan merusak kaum wanita, hingga tahap ini pakaian masih tetap utuh dan panjang, hanya model, corak, potongan dan bahan saja yang dibuat berbeda dengan hijab syar’i yang sebenarnya. Maka kini mulailah setan pada tahapan berikutnya.


II. Terbuka Sedikit Demi Sedikit

Kini setan melangkah lagi, dengan trik dan siasat lain yang lebih ampuh, tujuannya agar para wanita menampak kan bagian aurat tubuhnya.

Pertama, Membuka Telapak Kaki dan Tumit.

Setan Berbisik kepada para wanita, “Baju panjang benar-benar membuat repot, kalau hanya dengan membelah sedikit bagiannya masih kurang leluasa, lebih enak kalau di potong saja hingga atas mata kaki.” Ini baru agak longgar. “Oh ada yang kelupaan, kalau kamu bakai baju demikian, maka jilbab yang besar tidak cocok lagi, sekarang kamu cari jilbab yang kecil agar lebih serasi dan gaul, toh orang tetap menamakannya dengan jilbab.”

Maka para wanita yang terpengaruh dengan bisikan ini buru-buru mencari model pakaian yang dimaksudkan. Tak ketinggalan sepatu hak tinggi, yang kalau untuk berjalan mengeluarkan suara yang menarik perhatian orang.

Kedua, Membuka Seperempat Hingga Separuh Betis

Terbuka telapak kaki telah biasa ia lakukan, dan ternyata orang-orang yang melihat juga tidak begitu peduli. Maka setan kembali berbisik, “Ternyata kebanyakan manusia menyukai apa yang kamu lakukan, buktinya mereka tidak bereaksi apa-apa, kecuali hanya beberapa orang. Kalau langkah kakimu masih kurang leluasa, maka cobalah kamu cari model lain yang lebih enak, bukankah kini banyak rok setengah betis dijual di pasaran? Tidak usah terlalu mencolok, hanya terlihat kira-kira sepuluh senti saja.” Nanti kalau sudah terbiasa, baru kamu cari model baru yang terbuka hingga setengah betis.”

Benar-benar bisikan setan dan hawa nafsu telah menjadi penasehat pribadinya, sehingga apa yang saja yang dibisikkan setan dalam jiwanya dia turuti. Maka terbiasalah dia mema-kai pakaian yang terlihat separuh betisnya kemana saja dia pergi.

Ketiga, Terbuka Seluruh Betis

Kini di mata si wanita, zaman benar-benar telah berubah, setan telah berhasil membalikkan pandangan jernihnya. Terkadang sang wanita berpikir, apakah ini tidak menyelisihi para wanita di masa Nabi dahulu. Namun buru-buru bisikan setan dan hawa nafsu menyahut, “Ah jelas enggak, kan sekarang zaman sudah berubah, kalau zaman dulu para lelaki mengangkat pakaiannya hingga setengah betis, maka wanitanya harus menyelisihi dengan menjulurkannya hingga menutup telapak kaki, tapi kini lain, sekarang banyak laki-laki yang menurunkan pakaiannya hingga bawah mata kaki, maka wanitanya harus menyelisihi mereka yaitu dengan mengangkatnya hingga setengah betis atau kalau perlu lebih ke atas lagi, sehingga nampak seluruh betisnya.”

Tetapi… apakah itu tidak menjadi fitnah bagi kaum laki-laki,” gumamnya. “Fitnah? Ah itu kan zaman dulu, di masa itu kaum laki-laki tidak suka kalau wanita menampakkan auratnya, sehingga wanita-wanita mereka lebih banyak di rumah dan pakaian mereka sangat tertutup. Tapi sekarang sudah berbeda, kini kaum laki-laki kalau melihat bagian tubuh wanita yang terbuka malah senang dan mengatakan ooh atau wow, bukankah ini berarti sudah tidak ada lagi fitnah, karena sama-sama suka? Lihat saja model pakaian di sana-sini, dari yang di emperan hingga yang yang bermerek kenamaan, seperti Kristian Dior, semuanya menawarkan model yang dirancang khusus untuk wanita maju di zaman ini. Kalau kamu tidak mengikuti model itu akan menjadi wanita yang ketinggalan zaman.”

Demikianlah, maka pakaian yang menampakkan seluruh betis biasa dia kenakan, apalagi banyak para wanita yang memakainya dan sedikit sekali orang yang mempermasalahkan itu. Kini tibalah saatnya setan melancarkan tahap terakhir dari siasatnya untuk melucuti hijab wanita.


III. Serba Mini

Setelah pakaian yang menampak kan betis menjadi pakaian sehari-hari dan dirasa biasa-biasa saja, maka datanglah bisikan setan yang lain. “Pakaian membutuhkan variasi, jangan itu-itu saja, sekarang ini modelnya rok mini, dan agar serasi rambut kepala harus terbuka, sehingga benar-benar kelihatan indah.”

Maka akhirnya rok mini yang menampakkan bagian bawah paha dia pakai, bajunya pun bervariasi, ada yang terbuka hingga lengan tangan, terbuka bagian dada sekaligus bagian punggung nya dan berbagai model lain yang serba pendek dan mini. Koleksi pakaiannya sangat beraneka ragam, ada pakaian pesta, berlibur, pakaian kerja, pakaian resmi, pakaian malam, sore, musim panas, musim dingin dan lain-lain, tak ketinggalan celana pendek separuh paha pun dia miliki, model dan warna rambut juga ikut bervariasi, semuanya telah dicoba.

Begitulah sesuatu yang sepertinya mustahil untuk dilakukan, ternyata kalau sudah dihiasi oleh setan, maka segalanya menjadi serba mungkin dan diterima oleh manusia.

Hingga suatu ketika, muncul ide untuk mandi di kolam renang terbuka atau mandi di pantai, di mana semua wanitanya sama, hanya dua bagian paling rawan saja yang tersisa untuk ditutupi, kemaluan dan buah dada. Mereka semua mengenakan pakaian yang sering disebut dengan “bikini”. Karena semuanya begitu, maka harus ikut begitu, dan na’udzu billah bisikan setan berhasil, tujuannya tercapai, “Menelanjangi Kaum Wanita.” Selanjutnya terserah kamu wahai wanita, kalian semua sama, telanjang di hadapan laki-laki lain, di tempat umum. Aku berlepas diri kalau nanti kelak kalian sama-sama di neraka. Aku hanya menunjukkan jalan, engkau sendiri yang melakukan itu semua, maka tanggung sendiri semua dosamu” Setan tak mau ambil resiko.


Penutup
Demikian halus, cara yang digunakan setan, sehingga manusia terjeru-mus dalam dosa tanpa terasa. Maka hendaklah kita semua, terutama orang tua jika melihat gejala menyimpang pada anak-anak gadis dan para wanita kita sekecil apapun, segera secepatnya diambil tindakan. Jangan biarkan berlarut-larut, karena kalau dibiarkan dan telah menjadi kebiasaan, maka sangat sulit bagi kita untuk mengatasinya.

Membiarkan mereka membuka aurat berarti merelakan mereka mendapatkan laknat Allah, kasihanilah mereka, selamatkan para wanita muslimah, jangan jerumuskan mereka ke dalam kebinasaan yang menyeng-sarakan, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam bis shawab.



Sumber ide dan pokok pikiran: Kitab “At ta’ari asy syaithani”, Adnan ath-Tharsyah, disadur dengan bebas.

Siksaan Yang Teramat Berat (Syaidina Bilal R.a)

Bagi seorang budak, pergi menjumpai Nabi SAW. Bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan mudah. Keluar rumah majikannya untuk keperluan sendiri pun tidak bisa. Apalagi untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW, yang menjadi musuh kaum musyrikin Quraisy. Musuh majikan Bilal sendiri!

Dengan susah payah, akhirnya Bilal bin Rabah berhasil menjumpai Nabi Muhammad SAW. Ia menyatakan maksudnya untuk masuk Islam. Nabi mengajarkan cara-cara masuk Islam dengan berwudhu (bersuci), lalu mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian melakukan shalat dua rakaat.

Betapa bahagia dan beruntungnya Bilal, karena Nabi sendiri yang mengajarkan syariah Islam kepadanya. Namun, keislamannya harus disembunyikan. Sangat berbahaya jika majikannya tahu akan hal itu. Untuk itu, Bilal menjalankan perintah agamanya secara sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, pada akhirnya ketahuan juga.

Umayyah bin khalaf marah besar. Terkutuklah budaknya yang berani-beraninya menjadi pengikut Muhammad itu! Sesaat Umayyah bin Khalaf kehilangan akal. Bagaimana dia bisa lengah menjaga budaknya? Bagaimana sampai si budak tidak ketahuan pergi diam-diam menjumpai Muhammad?

Dalam hati, Umayyah bin Khalaf sebenarnya mengakui kelebihan-kelebihan Muhammad. Bahwa anak Abdullah itu, si Muhammad, memang orang yang sangat jujur. Orang yang tidak pernah berdusta. Dia, juga berperilaku sangat sopan, rendah hati, ramah. Pendek kata, banyak hal yang baik pada diri Muhammad itu. Namun, bahwa dia mengajarkan agama baru yang bertentangan dengan agama kaum Quraisy, itulah yang salah besar menurut Umayyah bin Khalaf. Itu tidak boleh dibiarkan. Harus diperangi, dimusuhi, dan jika mungkin dibasmi!

Umayyah punya sahabat bernama Uqbah bin Mu'ith. Uqbah mendengar perihal budak Umayyah yang masuk Islam itu.
"Celakalah engkau Umayyah!" katanya. "budakmu menjadi pengikut orang yang menghina agama kita. Yang menghina tuhan-tuhan kita Al-Laata dan Al-Uzza!"
"Ya. Celakalah budak itu. Apa yang harus kulakukan terhadapnya?"
"Siksa dia sampai mau meninggalkan agamanya yang sesat itu!"
"Akan kusiksa dia sampai mati kalau dia tidak mau meninggalkan kesesatannya!"

Kesesatan! Siapakah yang sesat ? si budak Habsyi yang telah menganut agama kebenaran atau mereka yang menyembah berhala-berhala mati itu? Orang-orang sesat itu menganggap yang benarlah yang sesat!

Matahari sedang terik-teriknya. Padang pasir menjadi bagaikan hamparan bara. Pada saat seperti itu, Bilal bin Rabah ditelanjangi lalu diseret ke tengah padang pasir. Tidak terbayangkan betapa panas butir-butir pasir itu. Bilal ditelentangkan. Matahari dipuncak langit membakar bagian depan tubuhnya. Sementara punggungnya disengat panas pasir yang bagaikan bara api.

Tidak itu saja yang dialaminya. Seorang musyrikin yang menjadi algojo penyiksa, mengambil sebongkah batu besar. Batu itu diangkat tinggi-tinggi, lalu dijatuhkan ke dada Bilal!

Batu itu berat sekali, juga panas tidak kepalang. Batu itu menghantam dada Bilal sampai tulang-tulang iganya patah dan terus dibiarkan menindih dada. Mengimpit dengan beratnya, dan membakar dengan panasnya.

"Ingkari agama sesat ajaran Muhammad!" seru algojo penyiksa Bilal. "Siksaan ini akan dihentikan bila engkau meninggalkan kesesatanmu!"
Bilal tidak sudi mengingkari keyakinan dan keimanannya.
"Ucapkan Al-Laata dan Al-Uzza. Namun, apa yang terdengar dari mulut Bilal?
"Ahad.....Ahad.....Ahad....." Begitu yang didengar Umayyah bin Khalaf dan para algojo yang menyiksa Bilal.
"Apa yang kau katakan?" jerit Umayyah bin Khalaf dengan kalapnya.
"Ahad....Ahad.....Ahad....."

Bilal hanya berucap begitu berulang-ulang. Maksudnya adalah Allah yang Maha Tunggal atau 'Allah yang Maha Esa'.

Siksaan dilanjutkan. Berbagai cara keji dan kejam dilakukan hingga hampir tidak ada bagian tubuh Bilal yang tidak terluka. Namun dia tetap tabah. Dia tetap mengucapkan Ahad....Ahad. tidak sudi memuji dan menyerukan Al-Laata dan Al-Uzza seperti yang diharapkan para penyiksanya.

Umayyah bin Khalaf dan para algojo kehilangan akal. Bagaimana lagi cara menyiksa Bilal, supaya budak Habsyi itu menyerah?

Hari telah sore. Sinar matahari tidak sepanas bara lagi. Siksaan itu dihentikan. Bilal akan dibawa pulang ke rumah Umayyah bin Khalaf. Akan tetapi, tidak begitu saja disuruh berjalan. Lehernya diikat seperti kambing. Lalu Umayyah bin Kalaf memanggil anak-anak kecil. Disuruhnya anak-anak itu menggiring Bilal melalui lembah dan bukit-bukit. Mereka bersorak-sorai riuh. Memukul, mencakar, dan meludahi Bilal sepanjang jalan.

"Ini pelajaran bagi budak-budak lain yang berani menjadi pengikut Muhammad!" kata Umayyah bin Khalaf. "Juga pelajaran bagi para pemilik budak. Mereka harus mewaspadai budak-budaknya."

Siksaan itu diulanginya keesokan harinya. Demikian pula lusanya. Namun, Bilal tidak mau menyerah. Dari mulutnya terus terdengar Ahad......Ahad......Ahad

Seorang Quraisy datang dan berseru ketika Bilal sedang disiksa
"Hentikan!" katanya dengan suara lantang. Apa yang kalian lakukan ini? Menyiksa seorang budak dengan sekejam ini? Lepaskan dia!"
Orang itu tampaknya berpengaruh. Bilal dilepaskan dan ikatan ditubuhnya dibuka. Orang Quraisy itu lalu memberinya minum. "Terima kasih......" ucap Bilal dengan suaranya yang lemah. Ia sungguh tidak berdaya. Seluruh tubuhnya penuh luka. Seluruh tulangnya bagaikan remuk belaka. Bernafas pun sangat menyakitkan dadanya. Bicara sangat menyakitkan rahangnya.

"Mengapa kau keras kepala begitu, Bilal?" Tanya orang Quraisy itu. "Mestinya lunakkan hatimu, supaya siksaan ini tidak terus menerus kau terima. Kau sendiri yang merugi." Bilal diam mendengar ucapan orang Quraisy ini.

Umayyah bin Khalaf itu merasa malu jika menghentikan siksaan sebelum kau meneruti kehendaknya," kata orang Quraisy itu dengan kata-kata lembut. "Ucapkanlah Al-Laata dan Al-Uzza, meskipun tidak dengan sepenuh hatimu. Supaya Umayyah bin Khalaf menghentikan siksaan ini tidak dengan rasa malu."

"Ahad.....Ahad......Ahad....." terdengar dari mulut Bilal ucapan itu.
Orang Quraisy itu marah. Dia serentak berdiri. Terkutuk! Kamu memang budak celaka! Siksa dia sampai mati!" Teriaknya.
Ternyata itu memang siasat para penyiksa Bilal. Ada yang membujuk dengan kata-kata manis supaya Bilal menyerah. Namun, budak Habsyi itu tetap pada pendirian dan keyakinannya. Mati baginya tidak menjadi persoalan lagi. Sakit bukan hal yang menakutkan. Bukanlah dia telah mengalaminya selama berhari-hari ini? Dia tidak mati juga, tentunya karena Allah tidak menghendakinya.

Bilal kembali disiksa. Begitu berjalan sampai berhari-hari. Para penyiksanya sampai jenuh dan bosan. Kehilangan akal untuk menaklukkan budak yang keras kepala itu.
Penganiayaan terhadap budak yang memeluk agama Islam pada waktu itu sering terjadi, bahkan ada yang sampai mati. Orang-orang musyrikin Quraisy bisa menyiksa budak sampai mati. Mereka tidak khawatir akan tindakan balas dendam dari kerabat si budak sebab para budak itu tidak mempunyai kabilah (kaum / keluarga besar)

Berbeda dengan orang yang bukan budak. Kerabat dan anggota kabilahnya pasti akan menuntut balas. Menyiksa budak itu sangat aman. Bukankah budak tidak lebih dari binatang ternak bagi mereka?

Penyiksaan terhadap Bilal ini didengar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Orang ini telah memeluk Islam. Dulu ia mempunyai banyak sekali budak karena dia orang kaya. Di masyarakat Quraisy pada waktu itu, semakin kaya seorang akan semakin banyak memiliki budak. Kini Abu Bakar Ash-Shiddiq telah membebaskan budak-budaknya, karena Islam menentang perbudakan. Tinggal seorang budak negro yang masih belum dimerdekakan.
Abu Bakar mendatangi tempat penyiksaan Bilal bin Rabah. Dengan iba disaksikannya penyiksaan yang kejam tidak berperikemanusiaan itu. Para algojo penyiksa itu sudah berlaku bagai binatang saja. Tidak punya rasa belas kasihan sedikit pun terhadap manusia lemah yang kebetulan derajatnya dianggap serendah ternak karena dia budak.
"Apa kau tidak malu menyiksa orang yang lemah itu?" tegur Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada Umayyah bin Khalaf.
Engkaulah yang merusak kepercayaannya dan engkau pula yang menjauhkannya dariku!" seru Umayyah bin Khalaf dengan geramnya. Ia tahu, Abu Bakar Ash-Shiddiq itu orang Islam, sama seperti Bilal.

"Aku mempunyai seorang budak negro yang kuat. Jauh lebih kuat dari pada orang yang kau siksa itu. Ia akan kuserahkan kepadamu. Kutukar dengan budak lemah itu."
Umayyah bin Khalaf benar-benar telah kehabisan akal untuk mengatasi kebandelan budaknya itu. Ia sendiri sudah ingin mengakhiri penyiksaan itu, karena dia tahu Bilal tidak akan mau menyerah. Namun, jika menghentikan penyiksaan tanpa alasan, dia akan merasa sangat malu. Kini ada orang yang menawarkan pengganti Bilal.
"Bawa kesini budak negro itu," kata Umayyah bin Khalaf.
Budak negro itu dipanggil. Inilah saat yang paling bersejarah bagi Bilal. Ia telah pasrah dan rela mati asalkan tetap dalam iman Islamnya. Ia pun menyangka tidak lama lagi ajalnya akan tiba karena tubuhnya tidak tahan lagi terhadap siksaan berat itu. Tiba-tiba ada orang menyelamatkannya!

Ia dilepaskan dari tali yang mengikatnya. Tubuhnya lunglai sehingga Abu Bakar harus memapahnya ketika membawanya pergi dari tempat itu. Bilal berlutut di depan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
"Terima kasih, Tuan......." katanya lemah sekali. "Kini hamba menjadi milik Tuan.....".
"Tidak," Kata Abu Bakar Ash-Siddiq. "Kau kumerdekakan".

Dimerdekakan adalah hal yang sangat luar biasa bagi seorang budak. Artinya, dia dibebaskan dari perbudakan. Dia menjadi orang yang merdeka yang tidak diperbudak oleh siapapun. Bilal bagaikan tidak percaya akan apa yang didengarnya. Namun sungguh ia benar-benar mendengar ucapan itu. Ucapan yang keluar dari mulut seorang muslim sejati. Orang yang telah memerdekakan budak-budaknya. Tidak dianggapnya bahwa itu merupakan kerugian besar baginya, padahal budak-budak itu dulu dibelinya dengan mahal di pasar budak.

Islam mengajarkan persamaan hak setiap manusia. Di mata Allah, derajat manusia sama. Yang membedakannya adalah amal ibadah mereka.

Bilal bukan satu-satunya budak yang disiksa yang dibebaskan oleh Abu Bakar Ash-Siddiq. Masih banyak lagi budak muslim yang disiksa dan dibeli oleh Abu Bakar Ash-Siddiq, kemudian dibebaskan. Diantaranya adalah Amir bin Fuhairah, budak-budak perempuan bernama Labibah, Zinnirah, dan An-Nahdiyyah.

Bilal bin Rabah kemudian menjumpai Nabi Muhammad SAW. Ia tetap bersama Nabi sampai ikut hijrah ke Madinah. Sejak saat itu Bilal tidak pernah terpisahkan dari Nabi.

Saat Diam Menjadi Emas

Majelis pengajian itu telah di penuhi oleh orang-orang.
Mereka duduk mengelilingi seorang Ulama. Al-Sya'bi, ulama itu bersiap-siap mengajarkan ilmunya.

Tiba-tiba diluar sana terdengar suara orang bertengkar.

"Ada apa ini?" tanya Al-Sya'bi.

"Kedudukanku lebih tinggi dari kamu. Sejak dahulu kaum bani Al-Amiri selalu lebih unggul dari segala hal," kata Al-Amiri bangga.

"Tidak! Akulah yang lebih tinggi!" teriak Al-Asadi tak mau kalah.

"Mana buktinya?" tantang Al-Amiri.

"Hemm......, kau mengaku lebih tinggi, tapi tidak bisa membuktikannya," kata Al-Amiri seraya menarik baju Al-Asadi dengan kasar. kedua tangannya diikat.

Al-Asadi diam tak berkutik. Al-Amiri merasa menang.

"Semua orang tahu kalau kaum Al-Amiri lebih tinggi kedudukannya!" sahut Al-Amiri sombong lalu mendorong Al-Asadi kehadapan Al-Sya'bi.

"Tolong, lepaskan saya, "kata Al-Asadi.

"Tidak akan kulepaskan! Jika Al-Sya'bi belum menentukan kalau akulah yang menang," kata Al- Amiri, sambil tersenyum kecut.

Al-Sya'bi menoleh kearah Al-Amiri.

" Lepaskanlah temanmu itu. Baru saya akan menentukan siapa yang menang diantara kalian, "kata Al-Sya'bi.

Dengan penuh rasa menang Al-Amiri melepaskan Al-Asadi.

"Al-Asadi, aku tidak berpendapat kalau kau sudah kalah. Sebab, kau memiliki enam kebanggaan yang tidak di punyai oleh orang lain," kata Al- Sya'bi.

"Tuan coba katakan kepadaku, apa enam kebanggaan yang dimiliki Al-Asadi itu?" tanya Al-Amiri penasaran. Al-Sya'bi pun tersenyum.

"Pertama, di antara kaum Asad ada wanita yang menjadi istri Rasulullah, yaitu Zainab binti Jahsy. Kedua, diantara kaum Asad ada yang dijamin masuk surga, ia adalah Ukasyah bin Muhsin yang mati Syahid. Ketiga, salah seorang dari kaum asad menjadi pengibar bendera pertama dalam islam, yaitu Abdullah bin Jahsy. Keempat, orang yang mengadakan baiat ialah Al-Ridwan dari kaum Asad. Kelima, dalam perang Badr terdapat tujuh persen kaum Asad. Keenam, harta rampasan yang pertama kali di bagi dalam Islam adalah harta rampasan kaum Asad," kata Al-Sya'bi. Wajah Al-Asadi pun berubah berseri-seri.

Al-Amiri terkejut bukan main. Ia tertunduk malu dan menaruh rasa hormat yang tinggi pada ulama itu. Ia tahu betul kalau Al-Sya'bi seorang ulama yang mulia.

"Maafkan aku, teman. Tidak seharusnya aku merendahkanmu," kata Al-Amiri kepada Al-Asadi. Keduanya lalu saling berpelukan. Tak ada pertengkaran lagi.

Ulama itu senang. Ia ingin menolong yang kalah dan yang lemah dari yang menang dan yang kuat. Dan seumpama Al-Amiri yang kalah, ia pun akan menerangkan kelebihan kaum Al-Amiri, yang tidak diketahui orang lain.

Al-Sya'bi kembali masuk ke majelisnya, dan memberikan pelajarannya. Seusai itu, ada seseorang yang berkata kepadanya.

"Tuan, Anda seorang ulama yang pandai dan ahli," kata orang itu. Al-Sya'bi merasa sangat malu di beri gelar semulia itu.

"Semoga Allah memberi rahmat kepadamu. Janganlah kamu memuji apa yang tidak kita miliki," kata Al-Sya'bi. Meskipun memiliki kedudukan tinggi, Al-Sya'bi tetap rendah hati.

Tidak berapa lama kemudian, datanglah seorang badui desa ke majelisnya. Dengan sungguh-sungguh ia mengikuti pelajaran. Al-Sya'bi memperhatikan orang baru itu. Ia kelihatan amat sederhana. Wajah dan sorot matanya tampak terang. Seperti genangan air di kolam bening. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya selama berada di majelis.

"Kenapa tuan tidak bicara?"

Orang Badui itu menatap Al-Sya'bi. Seulas senyum tampak di bibirnya.

"Diamlah, maka anda akan selamat. Dan perhatikanlah, maka anda akan mengetahuinya. Bila keuntungan sesoirang itu diperoleh melalui telinganya, maka keuntungan itu akan kembali padanya dirinya. Dan jika keuntungan itu diperoleh melalui lisannya, maka keuntungan itu akan kembali kepada orang lain." Jawab orang Badui itu.

Al-Sya'bi tertegun.

"Sungguh tinggi ilmu orang Badui itu" kata Al-Sya'bi dalam hati.

Ucapan orang Badui itu selalu diingat dalam hidupnya sebagai pelajaran yang amat berharga. Al-Sya'bi memang tidak segan-segan mencari pengetahuan dari siapa saja walaupun orang itu lebih rendah kedudukannya.

Dan, kemampuan itu dicapai oleh orang yang rendah hati seperti Al-Sya'bi, seorang ulama dari Kufah.

TAMAT

Pesan Sebuah Tulang

Sudah berhari-hari orang Yahudi itu berjalan menuju Madinah. Ia ingin menemui Khalifah Umar bin Khattab, Amirulmukminin. Ia banyak mendengar kabar bahwa bahwa Amirul Mukminin seorang yang terkenal bersungguh-sungguh menegakkan keadilan. Jauh-jauh ia datang dari Mesir dengan sebuah harapan, Khalifah mau memperhatikan nasibnya yang tertindas.

Baru ketika matahari condong ke barat, ia tiba di Madinah. Walaupun badannya terasa letih, namun air mukanya tampak berseri. Ia gembira telah sampai di negeri Amirulmukminin yang aman. Dengan tergopoh-gopoh, orang Yahudi itu memasuki halaman rumah Umar bin Khattab, lalu meminta izin pada prajurit yang sedang berjaga.

"Jangan-jangan.....Khalifah tidak mau menerimaku....," katanya dipenuhi rasa cemas. Ia menunggu di luar pintu.Prajurit masuk menemui khalifah Umar.

"Wahai Amirul Mukminin, ada orang Yahudi ingin menghadap Tuan<" sahut prajurit. "Bawalah ke hadapanku," Perintah Khalifah.

Orang Yahudi pun masuk disertai pengawal. Ada ketenangan di hati orang Yahudi ketika melihat Khalifah yang begitu lembut dan perhatian. Bertambah terperanjat orang Yahudi itu, ternyata Amirul Mukminin menjamunya dengan aneka makanan dan minuman.

"Saat ini kau adalah tamuku, silahkan nikmati jamuannya," sambut Khalifah. Rupanya benar.....apa yang kudengar tentang Khalifah, kata orang Yahudi dalam Hati.

Setelah dijamu layaknya tamu dari jauh, Khalifah meminta kepada orang Yahudi untuk menyampaikan maksud kedatangannya. "Ya Amirul Mukminin, saya ini orang miskin...," kata orang Yahudi memulai pembicaraan. Amirul Mukminin mendengarkannya dengan penuh perhatian. "Di Mesir, kami punya sebidang tanah," lanjut orang Yahudi.

"Ya..lalu, ada apa? Tanya Amirul Mukminin. "Tanah itu satu-satunya milik saya yang sudah lama saya tinggali bersama anak dan istri saya. Tapi gubernur mau membangun Masjid yang besar di daerah itu. Gubernur akan menggusur tanah dan rumah saya itu....," tutur orang Yahudi sedih, matanya berkaca-kaca. "Kami yang sudah miskin ini mau pindah kemana? Jika semua milik kami digusur oleh gubernur.....tolonglah saya yang lemah ini, saya minta keadilan dari Tuan."

Orang Yahudi memohon dengan memelas. "Oh, begitu ya? Tanah dan rumahmu mau digusur oleh gubernurku," kata Amirul Mukminin mengangguk-angguk.

Khalifah Umar tampak merenung. Ia sedang berpikir keras memecahkan masalah yang dihadapi orang Yahudi.

"Kau tidak bermaksud menjual menjual rumah dan tanahmu, hai Yahudi?" tanya Khalifah.

"Tidak!"orang Yahudi menggelengkan kepalanya.

"Sebab cuma itulah harta kami. Saya tidak rela melepasnya kepada siapapun....," Orang Yahudi tetap pada pendiriannya.

"Baik-baik, aku akan membantumu," kata Amirul Mukminin. Hati orang Yahudi merasa lega karena Amirulmukminin mau membantu kesusahannya.

"Hai, Yahudi," kata khalifah kemudian. "Tolong ambilkan tulang di bak sampah itu!" perintahnya.

"Maaf, Tuan menyuruh saya mengambil tulang itu....?"tanya orang Yahudi ragu. Ia tidak mengerti untuk apa tulang yang sudah dibuang harus diambil lagi. Namun, ia menuruti juga perintah Khalifah.

"Ini tulangnya, Tuan. "Orang Yahudi menyerahkan tulang unta kepada khalifah.

Lalu, Khalifah Umar membuat garis lurus dan gambar pedang pada tulang itu.

"Serahkan tulang ini pada gubernur Mesir!" kata Amirul Mukminin lagi.

Orang Yahudi menatap tulang yang ada. Garis lurus dan gambar pedangnya itu. Ia tidak puas. Kedatangannya menghadap khalifah untuk mendapat keadilan,tetapi khalifah hanya memberinya tulang untuk diserahkan kepada gubernur.

" Ya Amirulmukminin, jauh-jauh saya datng minta tuan membereskan masalah saya, tapi tuan malah memberi tulang ini kepada gubernur...?" sahut orang yahudi.

" Serahkan saja tulang itu!" jawab khalifah pendek. Orang yahudi tidak membantah lagi. Iapun bertolak ke mesir dengan dipenuhi beribu pertanyaan dikepalanya.

" Aneh.... Khalifah Umar Menyuruhku untuk memberikan tulang ini pada gubernur....,"
gumamnya sepanjang perjalanan kenegrinya. Setibanya di mesir, orang yahudi bergegas menuju kediaman gubernur.

" Wahai Tuan Gubernur, saya orang yahudi yang tanahnya akan kau gusur itu, " kata orang yahudi. " Oh kau rupanya., ada apa lagi?" kata gubernur.

" Saya baru saja menghadap Amirulmukminin," kata orang yahudi. " Lantas ada apa?"

" Saya disuruh memberikan tulang ini ...."

Orang yahudipun segera menyerahkan tulang onta ke tangan gubernur. Diperiksanya tulang itu baik-baik. Wajah gubernur berubah pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur di dahinya ketika melihat gambar pada tulang itu. Sebuah garis lurus dan gambar pedang yang dibuat khalifah Umarsudah membuat hati gubernur ketakutan bukan main.

" Hai, pengawal!" tiba-tiba ia berteriak keras.

" Serahkan tanah orang yahudi ini sekarang juga! Batalkan rencana menggusur rumah dan tanahnya! Kita cari tempat lain untuk membangun masjid," kata gubernur.

Orang yahudi menjadi heran dibuatnya. Ia dungguh tidak mengerti dengan perubahan keputusan gubenur yang kan mengembalikan tanah miliknya. Hanya dengan melihat tulang yang bergmbar pedang dan garis lurus dari kh;ifah tadi, gubernur tampak sangat ketakutan.

" Hai,, Yahudi! Sekarang jiga ku kembalikan tanah dan milikmu.tinggallah engkau dan keluargamu disana sesuka hati....," sahut gubernur terbata-bata.

Pesan dalam tulang itu dirsakan gubernur seakan-akan khalifah Umar berada dihadapannya dengan wajah yang amat marah. Ya! Gubernur merasa seolah-olah dicambuk dan ditebas lehernya oleh Amirulmukminin.

" Tuan Gubernur ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi....? Kenapa tuan tampak ketakutan melihat tulang yang ada garis lurusdan gambar pedang itu....? Padahal Amirulmukminin tidak mengatakan apa-apa?" tanya orang yahudi masih tak mengerti.

" Hai, Yahudi Tahukah kau? Sesungguhnya Amirulmukminin sudah memberi peringatan keras padaku lewat tulang ini," kata Gubernur.

Orang yahudi bertambah heran saja.

Sesungguhnya tulang ini membawa sebuah pesan peringatan.
Garis lurus, artinya Khalifah Umar memintaku agar aku sungguh-sungguh menegakkan keadilan terhadap siapapun. Dan gambar Pedang, artinya kalau aku tidak berlaku adil, maka khalifah akan bertindak. Aku haris menjadi penguasa yang adil sebelum aku yang menjadi tulang belulang...." Gubernur mencertakan isi pesan yang terkandung dalam tulang onta itu.

Kini orang yahudi pun mengerti semuanya. Betapa ia sangat kagum kepada Amirulmukminin yang sungguh-sungguh memperhatikan nasib orng tertindas seperti dirinya meskipun ia bukan dari kaum muslimin.

"Tuan Gubernur, saya sangat kagum pada Amirulmikminin dan keadila yang diberikan pemerintah islam. Karenanya, saya ingin menjadi orang Muslim. Saat ini saya rela melepaskan tanah itu karena Allah semata."
Tanpa ragu sedikitpun orang yahudi itu langsung bersahabat dan merelakan tanahnya untuk didirikan sebuah masjid.

Mi, Nantikan Abi di Taman Surga


Semerbak wangi bunga melati memenuhi kamar berukuran 4x3m. Saat ini aku sedang duduk termenung sendirian. Asyik memandangi bulan yang tengah bertengger manja di luasnya cakrawala. Cuaca tengah cerah malam ini. Bintang-bintang turut bergaya menarik simpati sang rembulan. Berlomba-lomba memamerkan keindahan cahayanya. Ah...aku begitu romantis hari ini, kata batinku sambil tersenyum.


” Assalamu’alaikum!” Suara dari luar mengejutkanku, disusul beberapa kali ketukan pintu. Aku segera beranjak dari tempat dudukku seraya menjawab salamnya.


” Wa’alamualaikum!” saat kubuka pintu, seorang gadis tengah berdiri di hadapanku dengan wajah tertunduk. Wajahnya yang menggemaskan memerah tersenyum menahan malu.


” Masuklah,” ajakku sambil membuka pintu lebih lebar setelah sesaaat terpaku menatapnya. Gadis yang belum genap 21 tahun tadi pagi resmi menjadi istriku, kelihatan mulai gelisah. Ada bintik-bintik keringat di ujung hidung dan dahinya yang tak tertutup jilbab. Kuhela nafas dalam-dalam. Ada keraguan menyeruak dalam hatiku. Sanggupkah ia mengemban tugas-tugas sebagai seorang istri? Bisakah dia mewujudkan baiti jannatii dalam rumah tangganya? Atau mampukah dia manjadi madrasah untuk jundi-jundi kami kelak?


Ah...desakan pertanyaan demi pertanyaan menyesakkan dadaku. Wajahnya yang begitu polos, kecantikannya anugerah Ilahi. Keraguannya yang sempat kubaca saaat tadi sebelum dia masuk. Kekikukannya saat ini seakan mendakwa bahwa aku harus sabar dalam mendidiknya menjadi istri yang shalihah.


Kusadari benar usia kami yang terpaut hampir 10 tahun menciptakan perbedaaan yang mencolok. Tapi kenapa aku terpikat bidadari kecil yang kukenal lewat proses nadhor beberapa bulan lalu. Setelah mendapat petunjuk dari Allah, tanpa pikir panjang akupun menyuntingnya.


Masih terngiang di telingaku saat kutanya mahar yang ia inginkan, dengan suara lembut yang bening ia menjawab: Subhanallah, apapun yang mas berikan dengan hati ikhlas, insyaAllah akan adik terima dengan hati ikhlas pula. Jawaban indah itulah yang ia hadiahkan. Kekagumanku bertambah saat ia berkata lagi: Maaf, idealnya mahar itu memenuhi sunnah, namun adik tidak ingin memberatkan, mas. Yah...kalimat yang tulus menggambarkan jiwa qona’ahnya.


MasyaAllah, sudah berapa jenak aku membiarkan bidadari kaku berdiri di depanku, ketika sadar ia sudah duduk dihadapanku. Aku membelainya dan berdo’a: Ya Allah, aku memohon padaMu dari kebaikannya dan dari kebaikan apa yang Engkau tetapkan padanya, dan aku berlindung dari kejahatan dan kejahatan yang Engkau tetapkan padanya.


Dia masih menundukkan kepalanya, seakan tak ingin memperlihatkan kecantikannya padaku. Perlahan kuangkat wajahnya hingga jelaslah terlihat wajahnya. Kecantikan yang benar-benar sempurna, rembulan pun merasa malu dan merasa tersaingi hingga menyelinap di balik tebalnya awan. Aku tak sanggup berkata apa-apa. Anugerah Ilahi teramat besar untukku. Aku yang merasa tak memiliki kelebihan apapun ditakdirkan oleh Allah menikah dengan Hanif. Khumaira yang tulus kupetik dengan doa dan airmata.


” Sebelum kita melangkah bersama, mengarungi bahtera rumah tangga berdua, berilah adik peta yang akan menjadi pedoman bagi adik dalam berkhitmat kepada Mas Aziz. Katakan apa yang mas sukai dan apa yang tidak mas sukai. InsyaAllah apa yang mas sukai akan adik tunaikan dan apa yang mas tidak sukai adik akan tepiskan. ”


Subhanallah, begini indahnya pernikahan? Aku menatap Hanif penuh haru. Tak kusangka dari getar bibirnya mengalir kalimat sebijak itu. Ingatanku melayang pada kisah pernikahan Syuraih Al Qadhi dan Zainab binti Hadiir. Kalimat yang dulu mengharubirukan hati Syuraih kini tengah menggetarkan hatiku. Keraguan yang tadi sempat singgah di benakku kini sirna, bahkan berganti keyakinan bahwa Hanif akan menjadi istri yang shalihah. Kurengkuh Hanif dengan penuh bahagia.


Waktu terus berlalu. Hanif benar-benar telah membuktikan sebagai istri yang shalihah, istri terbaik dalam penilaianku. Tutur katanya yang begitu lembut dan santun, akhlaknya yang karimah, qana’ah memandang dunia dan senyumnya yang senantiasa berkembang saat berhadapan denganku. Dalam kebahagiaan seperti ini, setahun pun terlewati tanpa terasa.


Rahim Hanif mulai mengembang oleh calon jundi kami. Kuperhatikan ia begitu sering mengelusnya seraya membisikkan dzikir-dzikir dan do’a-do’a. Mengajari tentang kebesaran Allah sehingga seakan kebahagiaan ini terasa begitu lengkap.


” Adik Hanif, masih ingatkah adik dengan janji kita di malam pertama dulu?” Aku mengajaknya musyawarah tentang rencana keberangkatanku ke negeri anak benua untuk memperdalam dakwah di sana. Dia mengangguk mantap. Kemudian mengulang azzam yag diucapkan setahun yang lalu.


” Istri adalah pendorong bagi suami untuk khuruj fi sabilillah, istri adalah teman bagi suami dalam berbakti kepada kedua orang tuanya, penunjuk jalan ketika suami silap dan teman yang setia bagi suami dalam segala keadaan,” katanya.


” Tidakkah adik keberatan atas kepergiaan mas yang lama?” tanyaku.


” Bagimana mungkin adik keberatan sedangkan Allah lebih berhak atas diri mas. Dialah penyuruh yang sesungguhnya.” Senyumnya yang penuh kearifan berkembang. ” Itu adalah do’a adik tiap malam agar Allah memilih mas untuk pergi kesana.”


” Mas akan pergi empat bulan, hanya saja pilihan mas bukan ke negeri anak benua, melainkan ke negeri jiran, Malaysia, ” kataku. Selesai aku mengatakan itu kulihat kabut dimatanya.


” Tidak, mas. Mas harus pergi ke negeri anak benua,” ucapnya memberi semangat.


” Tapi, adik kan paham bahwa biaya ke sana mahal. Apalagi adik sudah mendekati saat-saat melahirkan,” jelasku. Dia tetap menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. Ia beranjak dari tempat duduknya. Beberapa saat kemudian ia duduk di hadapanku dan mengangsurkan buku tabungannya. Aku menatapnya dengan kebingungan.


” Ini hasil dari adik menulis. Adik ikhlas kalau mas memakainya untuk kepentingan agama.” Ah...ingin rasanya aku menangis mendengar ucapannya itu karena haru. Teringat olehku Khadijah istri Rasulullah yang rela mengorbankan semua kekayaannya untuk dakwah Rasulullah.


” Ini kan hasil adik sendiri, pakailah untuk keperluan adik,” kataku seakan tak rela atas perlakuannya sambil mengembalikan buku tabungan itu. Dia menatapku dengan penuh permohonan. Sebentar kemudian air matanya meluncur deras membasahi pipinya.


” Tidak bolehkan seorang istri membantu dakwah suaminya? Mengapa Khadijah mengorbankan seluruh hartanya untuk Rasulullah, sedangkan mas menolak bantuan adik yang tidak berharga ini?” Isaknya meluluhkan kalbuku, aku terenyuh. Akhirnya kuterima kembali buku itu dan mengucapkan jazzakumullah kepadanya.


” Adik benar-benar siap berjuang sendirian?” tanyaku sesaat sebelum berangkat ke bandara.


” 70.000 malaikat yang melindungi keluarga yang ditinggal fi sabilillah, dan lagi penjagaan Allah lebih ketat daripada banser atau satgas sekalipun.” Ah...ia masih bisa bercanda saat menjelang perpisahan.


” Saat adik merasa berat, ingat perjuangan Siti Hajar yang ditinggal Nabi Ibrahim di padang pasir tandus dengan Ismail yang di gendongnya,” kataku sembari memberi pesan. ” InsyaAllah, segala sesuatu yang berjalan untuk agama Allah tidak akan pernah terasa berat. kecintaanNya kepada kita akan melebur segala kesusahan,” batinku menggeraikan do’a. Akupun berpamitan dengan bakal bayi itu.


” Abi berangkat, sayang. Jangan bikin susah umi. Jaga dan temani umi, ya,” pamitku kepada bakal jundiku. Kulihat Hanif lebih tegar menghadapi perpisahan ini. Senyumnya terurai, senyum yang selalu membuat hatiku bergetar. Kulangkahkan kaki keluar, kupastikan aku tengah membela agama Allah. Tak lagi sanggup kumenoleh ke belakang.


Empat bulan terlewati sudah, kepulangan yang tertunda dua pekan membuatku gelisah. Ini adalah detik-detik Hanif melahirkan. Ingin rasanya aku mendampinginya saat kelahiran. Begitu sampai di bandara, Ilham adik iparku memberi tahu bahwa Hanif sedang di rumah sakit. Tanpa banyak tanya kuseret tangan Ilham menuju pangkalan taksi.


” Mbak Hanif pendarahan, mas. Kemarin Ibu menemukannya pingsan di kamar mandi,” jelas Ilham sesaat setelah duduk didalam taksi, membuatku kian gelisah. Aku berharap taksi ini bisa terbang untuk segera sampai di rumah sakit.


Kulihat semua keluarga telah bekumpul. Belum selesai aku menyalami semuanya, seorang suster memanggilku, ” Istri Anda?” tanyanya, ” ingin bertemu?”


Bergegas aku mengikuti langkah suster itu ke ruang ICU. Aku melangkah menuju Hanif yang tengah berbaring dengan dada berdentuman. Ah, kulihat ia terbaring tanpa daya. Bibirnya membiru, wajahnya nampak pias, keringatnya mengucur dari seluruh tubuhnya. Subhanallah, ia masih tersenyum saat melihatku. Senyuman yang berbaur rintihan tersembunyi.


” Lailahaillallah...Lailahaillallah...Lailahaillallah...” berulangkali ia gumamkan kalimat itu.


” Bagimana dakwahnya, bi?” tanyanya. Di tengah derita yang begitu hebat, pikir agama tetap begitu tinggi. Ingin rasanya aku sujud syukur di lantai ruang ICU, demikian suci kasih bidadariku, begitu sempurna Allah melukis cintanya.


” Alhamdulillah banyak ilmu yang mas dapat. Nanti bisa kita mudzakarahkan bersama,” jawabku.


” Sekarang panggil adik dengan umi,” sarannya. Aku melirik perut Hanif yang telah mengempes pertanda jundi kami telah lahir.


” Anak kita telah lahir?” tanyaku penasaran. Hanif hanya menganggguk lemah.


” Ismail, dia akan fastabiqul khairat dengan abinya di medan dakwah dan mujahadah.” Aku segera jatuh dalam sujud syukur di lantai ICU seketika itu juga.


Kemudian kulihat Hanif lagi sambil memegang tangannya yang lemah. ” Bi, umi sedikit letih, izinkan umi sejenak istirah,” Ah...tiba-tiba bayang-bayang asing menjenguk dari balik langit-langit putih, mengirim kabar dari negeri yang tak pernah terlintas dalam krenteg batin.


”Rehatlah, sayang, keletihanmu diganti oleh Allah limpahan pahala,” ucapku lirih di telinganya.


” Penghuni sorga melambaikan tangannya untuk memanggilku.” mendengar kata-katanya itu aku tersentak, tak terasa kugenggam erat tangannya. ”Ya, Allah, jangan ambil dia, dialah pelipur hatiku, penyejuk hatiku, dia pendorongku untuk keluar di jalanMu, jangan ambil dia,” jeritku dalam hati.


”Telah ridhokah abi dengan umi?” Hanif masih bertanya. Tak kuasa kutahan air mata. Tangan Hanif yang dingin menghapus butiran-butiran air mata yang perlahan jatuh di sudut-sudut mataku.

” Tidak pernah abi merasa kecewa dengan umi? Ridhokanlah, bi. Sesungguhnya umi tidak hendak meninggalkan abi. Tidak pula umi hendak pergi. Umi sekedar ingin segera menghias taman sorga, tempat umi menanti abi dan juriat tercinta...”


” Abi...abi...abi ridho dengan kepergian umi,” jawabku tersendat-sendat.


“ Bi, ucapkanlah, nantikan abi …di taman sorga…”


“ Mi, nantikan abi di taman sorga...” tak sadar bibirku bergetar menirukan kalimat terakhir Hanif yang ridho menjemput takdir.


Senyumnya berkembang, namun tak sanggup aku menatap senyum yang selalu menjadi penyejuk hatiku itu. Aku mencium punggung jemari Hanif, lirih kutalqinkan kalimat thayyibah. Kulihat bibirnmya turut bergerak meski tak bersuara. Beberapa detik kemudian semuanya berhenti, tangannya terkulai di genggamanku. Kepergian yang indah. Kepergian bidadariku sebagai syahidah. Kepergian yang hakikatnya mempercepat pertemuan yang abadan-abadan.


“ Ya, Allah, aku ikhlas dengan keputusanMu. Gantilah ketaatannya kepadaku selama ini dengan kebahagiaan di sisiMu, ” Do’aku di depan Hanif yang telah pergi. Aku melangkah keluar, semua mata seakan bertanya bagaimana dengan Hanif.


” Jangan ada yang menangisi kepergiannya,” pintaku lirih. Kulihat keluargaku beriringan memasuki kamar rawat Hanif. Sementara aku melihat seorang suster membawa bayi ke kamar Hanif ” Dia telah tiada!” Cegahku sebelum suster itu sampai di depan pintu. Kuambil Ismailku dari tangan suster itu. Ah...dia seperti Hanif. Tersenyum seakan menghiburku agar tak bersedih. Selamat jalan bidadariku, perjuangan agama ini akan kuteruskan bersama da’i yang telah kau lahirkan ke dunia ini, da’i yang menjadi bukti syahidmu yang demikian indah.

(Oleh I. Dwi K., Majalah Al-Madinah, edisi 9)